Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, seluruh umat Islam di berbagai belahan dunia diingatkan pada sebuah peristiwa dramatis terhadap pengurbanan Ibrahim AS atas putranya Ismail AS. Peristiwa dramatis itulah yang kemudian menjadi rujukan umat Islam dalam menjalankan ibadah qurban. Sebuah peristiwa yang menandakan kecintaan dan ketundukan kepada Sang Khalik secara vertikal sekaligus bukti kepedulian sosial terhadap sesama secara horisontal.
Dalam berbagai risalah disebutkan bahwa kehadiran Nabi Ibrahim, istrinya Hajar, dan anaknya Ismail ke suatu lembah tandus tanpa tanaman bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah rangkaian sejarah kehidupan Nabi Ibrahim yang merindukan hadirnya anak, generasi penerus yang akan meneruskan dan memikul risalah tauhid yang diembannya. Namun, ketika kerinduan atas hadirnya seorang putra yang amat dicintainya itu tertuntaskan, Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk menyembelih putranya, Ismail, atas nama ketaatan kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim sempat ragu, benarkah mimpi-mimpi yang diterimanya itu adalah wahyu dari Allah? Ini sebuah gambaran kemanusiaan, bagaimana seorang ayah yang mencintai anaknya. Namun, pengabdian dan kecintaannya kepada Allah jauh lebih dahsyat ketimbang kepada keluarga dan anaknya.
Dapat kita bayangkan betapa beratnya ujian itu bagi Nabi Ibrahim, lantaran Ismail ibarat tanaman subur yang baru tumbuh di padang gersang milik petani tua. Ismail adalah anak yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya oleh Ibrahim. Ketika ia mulai tumbuh menjadi remaja yang kuat dan sarat harapan, Allah SWT menyuruh Ibrahim menyembelihnya.
Tafsir Pragmatik Sederhana
Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk melakukan tafsir sejarah yang secara faktual jelas telah terbukti kebenarannya, tetapi berupaya melakukan tafsir pragmatik sederhana di balik peristiwa dramatis itu. Ada penggalan dialog yang amat mengharukan sebagaimana tercantum dalam QS. Ash-Shaaffaat (37: 102). Berikut kutipannya.
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya. (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaaffaat (37) : 102).
Dalam sudut pandang pragmatik, dialog mengharukan antara Ibrahim dan Ismail –meminjam istilah Searle (1975:59-82)– mengandung tuturan representatif, direktif, dan komisif. Tuturan representatif (asertif) merupakan tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya. Tuturan Ibrahim “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu …” bisa dikategorikan sebagai tuturan representatif yang memiliki kebenaran yang bersifat mengikat bahwa Ibrahim benar-benar bermimpi menyembelih putranya, Ismail.
Sebagai hamba Allah yang taat dan sekaligus amat mencintai putranya, secara demokratis Ibrahim meminta pendapat Ismail tentang ikwal mimpi itu dengan berujar, “Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Ujaran ini bisa dikategorikan sebagai tuturan direktif (impositif), yaitu tuturan yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu.
Sebagai seorang anak yang sangat menghormati orang tua dan taat kepada Allah, Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Tuturan Ismail dalam konteks ini bisa dikategorikan sebagai tuturan komisif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Melalui kebesaran hatinya, Ismail pun meminta sang Ayah (Ibrahim) untuk melakukan apa yang telah Allah perintahkan melalui mimpi itu, yakni menyembelihnya.
Namun kita tahu, penyembelihan itu kemudian digantikan dengan sembelihan berupa hewan ternak, seekor kibas yang besar. Di sini Allah SWT menunjukkan bahwa yang terpenting adalah ketakwaan dan ketundukan Ibrahim melaksanakan perintah-Nya, dan bukan daging atau darah pengorbanan itu. Sebagaimana firman Allah, yang artinya, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Hajj (22): 37)
Tuturan representatif, direktif, dan komisif yang terkandung dalam dialog antara Ibrahim AS dan Ismail AS merepresentasikan derajat kenabian luar biasa yang meletakkan perintah Allah di atas segala-galanya. Kecintaan dan ketaatannya dalam menjalankan perintah Allah jauh melebihi kecintaannya terhadap seorang anak yang sudah bertahun-tahun lamanya amat dirindukan. Derajat kenabian Ismail yang begitu tinggi juga terpancar melalui sikapnya yang dengan besar hati meminta sang Ayah, Ibrahim, untuk menyembelihnya demi menjalankan perintah Allah melalui mimpi itu.
Peristiwa dramatis dan mengharukan yang akhirnya dijadikan sebagai momentum Hari Idul Adha itu juga merepresentasikan sikap kebersahajaan dalam memandang gebyar duniawi. Disadari atau tidak, sikap berlebihan dalam memandang harta benda dan hal-hal yang bersifat keduniawian tak jarang membuat orang gelap mata, sehingga menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Tak heran jika mereka yang sedang kemaruk harta tega melakukan korupsi, manipulasi, penipuan, dan semacamnya demi memanjakan naluri kecintaannya terhadap hal-hal yang bersifat hedonis.
Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS telah memberikan pembelajaran yang jelas dan nyata bagaimana kita memandang hal-hal yang bersifat duniawi. Semoga kita semua bisa mengikuti jejaknya dengan terus mengobarkan semangat pengurbanan pada setiap dimensi ruang dan waktu. Nah, selamat Hari Raya Idul Adha 1433 H. ***
Link to full article