Thứ Tư, 31 tháng 10, 2012

Blog: Bertahan di Tengah Gempuran Media Sosial

(Refleksi Hari Blogger Nasional 2012)

haribloggernasionalSaya benar-benar lupa kalau 27 Oktober itu merupakan Hari Blogger Nasional. Untung diingatkan Mas Donny Verdian melalui mentions di akun twitter, sehingga bisa ikut meramaikan Hari Blogger Nasional dengan posting seadanya, meski terbilang agak terlambat.

Konon, Hari Blogger Nasional pertama kali dicanangkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika RI (Menkominfo), Muhammad Nuh, pada 27 Oktober 2007 dalam Pembukaan Pesta Blogger yang namanya telah diubah menjadi event On Off Indonesia (OnOffID). Mungkin lantaran belum pernah sekali pun hadir dalam Pesta Blogger, sangat bisa dimaklumi kalau pada akhirnya saya tidak pernah memasukkan Hari Blogger Nasional dalam kalender tahunan. Selain itu, ada atau tidak ada Hari Blogger Nasional, pengaruhnya terhadap atmosfer blog di kompleks blogosphere juga tidak begitu signifikans.

kbbi

Di negeri ini, blogger agaknya masih berwarna “abu-abu”. Namanya tidak banyak dikenal masyarakat kebanyakan. Hanya kalangan tertentu yang dianggap sudah “melek IT” dan memiliki tingkat literasi virtual memadai yang akrab dengan “laboratorium virtual” ini. Coba iseng-isenglah bertanya kepada tetangga kanan-kiri dan handai taulan! Adakah di antara mereka yang mengenal “profesi” ini? Bahkan, Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pusat Bahasa (2008) atau KBBI Daring juga tidak mencantumkan kosakata “blog” sebagai lema. Ini artinya, blog dan orang-orang yang terlibat di dalamnya masih menjadi sebuah “Indonesia” yang tertinggal.

Meski demikian, pencanangan Hari Blogger Nasional, dalam pandangan awam saya, setidaknya memunculkan dua pesan kuat. Pertama, peran blogger dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara makin diperhitungkan. Ide-ide dan pemikiran kreatif yang terus bermunculan dari para blogger setiap hari bisa menjadi “therapi kejut” buat para pengambil kebijakan. Mereka tak jarang melontarkan kritik terhadap berbagai perilaku anomali sosial, buruknya layanan birokrasi, maraknya kasus korupsi, mafia hukum, dan sejenisnya di tengah lambannya pemerintah dalam merespon berbagai persoalan yang mencuat ke permukaan. Jika kritik konstruktif semacam itu terus dibangun oleh para blogger, bukan mustahil blogger akan benar-benar mampu menjalankan fungsinya sebagai “pilar kelima demokrasi” setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers. Di tengah abad gelombang informasi yang ditandai dengan meningkatnya pengguna internet seperti saat ini, diakui atau tidak, tulisan para blogger banyak menghiasi halaman pertama mesin pencari sehingga memudahkan para pengguna internet dalam menemukan suara-suara kritis yang berkait dengan berbagai persoalan bangsa dan negara. Sungguh keliru kalau ada yang membuat stigma bahwa blog identik dengan content “sampah” yang hanya memuat postingan “curhat” melulu di ranah publik.

Kedua, blogger tak pernah mati. Di tengah gempuran media sosial yang begitu dahsyat di ranah maya, blogger masih terus berusaha mempertahankan eksistensi dirinya untuk berekspresi. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dinilai bisa menjadi ancaman serius buat para blogger dalam berekspresi pun tak sanggup “membunuh”-nya. Blogger masih hidup dan eksis. Berdasarkan data Salingsilang.com jumlah blogger Indonesia kini mencapai  5.331.093 orang. Bisa jadi jumlah itu masih bisa bertambah karena mungkin masih ada beberapa blogger yang belum sempat mendaftarkan blognya di direktori Salingsilang.com.

Memang harus diakui, masa subur blog tak sedashyat sekitar tahun 2007/2008 ketika media sosial dan mikro-blogging belum tumbuh sepesat sekarang. Mereka tak hanya aktif secara online, tetapi juga berupaya mempererat jalinan silaturahmi secara offline melalui kopi darat (kopdar). Kopdar juga tak hanya sekadar saling bertemu, tetapi juga menjadi ajang “kompetisi ngeblog” secara sehat, sehingga blogger yang jarang update terpicu “adrenalin”-nya untuk kembali ke “habitat” di kompleks blogosphere. Blog makin tumbuh subur ketika berbagai komunitas blogger mulai bermunculan sebagai wadah aspirasi dan menjadi pusat “think-thank” para blogger dalam merumuskan ide-ide kreatif, baik di ranah online maupun offline. Mereka yang tergabung dalam komunitas blogger merasa memiliki tanggung jawab moral untuk membangun citra, marwah, dan martabat blogger di tengah belantara informasi.

Namun, seiring dengan menjamurnya media sosial semacam facebook, twitter, atau google+, disadari atau tidak, sebagian blogger telah “bermetamorfosis” dan beralih jalur ke ranah mikro-blogging. Kehadiran media sosial seakan menjadi magnet, bahkan mengandung zat “adiktif” yang membuat sebagian blogger secara perlahan-lahan meninggalkan medan blogosphere. Tidak sedikit blog yang sengaja dibiarkan tak terurus hingga “mati suri”, padahal aktivitas mereka di media sosial begitu masif dan mengagumkan.

Saya tidak bermaksud mempertentangkan secara vis a vis antara blog dan media sosial. Kedua media virtual ini sama-sama memiliki peran mutualistis yang saling melengkapi dan menguntungkan. Jika “dikawinkan”, keduanya akan mampu menghasilkan “anak-anak” pemikiran dan ide-ide kreatif yang mencerahkan dan memberikan kontribusi besar dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kalau memang demikian, mengapa blog mesti ditinggalkan? Bukankah blogger secara nasional telah mendapatkan “legitimasi” sejak lima tahun yang lalu?

Semoga gempuran media sosial yang begitu dahsyat di tengah gelombang informasi ini tidak meruntuhkan semangat blogger dalam menjalankan fungsinya sebagai “pilar kelima demokrasi”. Nah, Selamat Hari Blogger Nasional! Dirgahayu Blogger Indonesia! ***


Link to full article

Không có nhận xét nào:

Đăng nhận xét

Bài đăng phổ biến