Catatan atas Kumpulan Cerpen II (Kembang Api Malam Ini) karya Latree Manohara
Cerpen sejatinya merupakan tafsir terhadap berbagai fenomena hidup dan kehidupan yang menggelisahkan sekaligus mengusik kepekaan nurani sang pengarang. Fenomena yang menggelisahkan sekaligus mengusik itu tidak terlepas dari kemampuan intuitif sang pengarang dalam menangkap “dunia lain” dari segala sesuatu yang kasat mata. “Dunia lain” itu secara imajinatif dan kontemplatif berupaya dijelalahi dan diakrabi sampai jauh menukik ke kedalaman jiwa hingga terjadi proses kristalisasi nilai-nilai kearifan hidup yang layak dijadikan sebagai bahan renungan dan refleksi diri.
Sebagai sebuah tafsir, cerpen tentu saja tak hanya sekadar mengalihkan berbagai fenomena hidup dan kehidupan itu ke dalam sebuah teks semata, tetapi juga melalui proses pergulatan dan transfigurasi secara total terhadap berbagai macam nilai yang mengendap dalam ruang batin sang pengarang. Nilai-nilai estetika, sosial, kultural, psikologis, filosofis, atau religius yang diyakini sang pengarang sebagai sebuah “kebenaran” akan ikut “bermain-main” di dalamnya. Ini artinya, sebuah teks cerpen, sesederhana apa pun, tak akan pernah tercipta dalam ruang hampa. Berbagai macam kode budaya, bahasa, dan sastra diramu dan dipadukan hingga membangun “mozaik literasi” sebuah teks sastra bergenre cerpen.
Cerpen-cerpen Latree Manohara yang terkumpul dalam buku ini, saya kira tak terlepas dari proses kreatif semacam itu. Melalui kepekaan nuraninya, Latree berupaya menafsirkan berbagai fenomena hidup dan kehidupan yang berhasil ia endapkan ke dalam ruang batinnya, untuk kemudian diolah dan diramu melalui kode-kode budaya, bahasa, dan sastra berdasarkan pengalaman-pengalaman literer dan kreatifnya. Walhasil, lahirlah cerpen-cerpen yang secara tematis mengangkat persoalan-persoalan dunia kaum marginal yang sarat dengan sentuhan anomali sosial, teror psikis, dan aroma mistis yang sesekali membayang dalam cerpen-cerpennya.
Simak saja cerpen bertitel “Abu. Abu. Abu.”, “Bayang-bayang”, “Darah”, “Gendruwo”, “Susu buat Sari”, “Hamil”, atau “Kembang Api Malam Ini”! Latree menghadirkan sosok-sosok yang serba kalah dan tak berdaya dalam menghadapi persoalan hidup yang menelikungnya.
Tokoh “aku” dalam “Abu. Abu. Abu.”, misalnya, benar-benar tak berdaya ketika menemukan kenyataan pahit dan menyesakkan dada. Rusmi gagal dinikahi lantaran tak jelas lagi keberadaannya akibat amukan Merapi yang memorak-porandakan kampung halaman kekasihnya itu. “Aku” yang memang tidak suka dengan warna abu-abu, makin masygul ketika pandangan matanya selalu menatap warna abu-abu pada setiap benda yang ada di sekelilingnya. Suasana psikis yang (nyaris) sama juga menimpa tokoh “aku” dalam “Kembang Api Malam Ini” yang harus menelan kekecewaan berat ketika menemukan kenyataan bahwa Mur, yang amat dicintainya sejak kecil, diam-diam sudah memiliki seorang kekasih. Repotnya, Mur terkesan memberikan harapan kepada “aku”. Kesediaan Mur menemani “aku” pada setiap pesta kembang api di akhir tahun dianggap sebagai sinyal “positif” bahwa Mur bersedia menikah dengannya. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Ketika “aku” benar-benar dalam keadaan siap untuk melamar Mur, ternyata kekasih “imajiner”-nya itu telah memiliki seorang Fath yang amat dicintainya. Tokoh “aku”, baik dalam “Abu. Abu. Abu.” maupun “Kembang Api Malam Ini” bisa dibilang sebagai sosok yang kalah dan tak berdaya dalam menghadapi kenyataan hidup yang mustahil bisa dihindarinya.
Yang lebih tragis dan memilukan adalah nasib hidup tokoh “aku” dalam “Bayang-bayang” yang terus tertekan dan ter-teror oleh sepasang mata yang seakan menguntitnya di mana pun dia berada dan ratapan tangis bayi yang selalu muncul secara tiba-tiba di depan pintu kamarnya. Suasana gelap masa silam tokoh “aku” yang gagal membendung hasrat dan nafsu “biologis” akibat godaan seorang lelaki sehingga rahimnya mengandung janin yang sangat tidak dikehendakinya, memaksa tokoh “aku” untuk menggugurkan kandungannya. Melalui persekongkolan busuk dengan Bu Janti, calon “Malaikat Kecil” itu tak diberi kesempatan untuk hidup demi menutup aib dirinya. Di sinilah proses anomali sosial itu berlangsung. Demi mempertahankan marwah dan kehormatannya sebagai seorang perempuan, tak jarang orang tega melakukan pembiadaban terhadap dirinya sendiri. Namun, serapat-rapatnya orang membungkus bau busuk, akhirnya akan tercium juga. Begitulah! Tokoh “aku” pada akhirnya gagal membuang aib, bahkan pembunuhan janin itu telah membuahkan penyesalan seumur hidup, seperti dalam kutipan berikut.
….
“Maafkan aku…” bisikku.
Ini tidak akan menyudahi rasa bersalahku. Aku bahkan tidak berani berharap ini akan menyudahi mimpi burukku. …
“Darah” menghadirkan kekerasan keluarga dalam sebuah setting sosial kaum marginal yang tergencet dan tersisih di tengah peradaban hedonis dan materialistis. Agaknya, kemiskinan telah membuat kaum marginal kehilangan nurani. Rahmi, setiap hari “dipaksa” menyaksikan perilaku busuk ayahnya yang doyan selingkuh dan berjudi. Situasi yang (nyaris) sama juga terjadi dalam “Susu Buat Sari”. Demi menyambung hidup dan mencukupi kebutuhan susu anaknya, tokoh “aku” yang menjadi buruh cuci tak tahan godaan ketika salah seorang temannya mengajaknya untuk bekerja dengan penghasilan menggiurkan. “Aku” dan temannya berkomplot untuk melakukan pencurian kain batik di sebuah toko. Namun, malang, baru pertama kali beraksi, “aku” tertangkap oleh sang pemilik toko. Pupuslah sudah harapannya untuk bisa mempertahankan hidup akibat kemiskinan yang menjeratnya.
Aroma mistis kuat sekali tercium dalam cerpen “Gendruwo”. Berlatarkan sosial masyarakat pedesaan yang masih amat percaya pada mitos dan takhayul, cerpen ini bertutur tentang Rim yang linglung. Kabarnya, si Rim telah melakukan persetubuhan dengan Gendruwo, makhluk gaib yang sering diimajinasikan sebagai jin berwujud kera raksasa, berkulit hitam kemerah-merahan, dan berbulu tebal. Konon, Rim yang sudah lama menghilang mendadak pulang ke rumah dalam keadaan hamil dan melahirkan bayi aneh. Sang ayah geram dan segera menguburkan bayi yang penuh bulu itu untuk menutupi aib keluarganya.
Suasana mistis juga bisa ditemukan dalam cerpen “Pawon Rawon Mas Won”. Meski aroma mistisnya hanya berupa tempelan, cerita ini berhasil mengungkap tentang kultur sekelompok masyarakat yang gampang berprasangka buruk terhadap kesuksesan orang lain. Warung rawon Mas Won yang laris-manis membuat para pesaingnya geram. Mereka berupaya mencelakai Mas Won dengan mengirimkan “sengkala” dalam bentuk takir berisi kembang tujuh rupa, anglo kecil berisi kemenyan yang dibakar, dan beberapa “uba rampe” yang lain di dekat gentong di belakang rumah. Namun, Mas Won bergeming. Dia tetap membuka warungnya dan terus membuat masakan rawon dengan resep rahasianya menggunakan daging werok (tikus got).
Cerpen dengan muatan dan gaya tutur yang berbeda tampak pada cerpen “Hamil”, “Namaku Samantha Ray”, “Ombak Pantai Tengah Malam”, dan “The Wine”. Secara tematik, keempat cerpen ini bertutur tentang sosok manusia “gagal” di tengah pergaulan masyarakat “global” yang akrab dengan ikon-ikon peradaban modern yang pongah, egois, dan paranoid. Cerpen “Hamil” bertutur tentang tokoh “aku” yang sedang hamil. Namun, kehamilan itu agaknya sangat tidak dikehendaki Jay, suaminya, dengan alasan ingin meniti karier terlebih dahulu. Rumah tangganya pun makin berkabut sebelum akhirnya Jay benar-benar memutuskan untuk pergi meninggalkan “aku”. Sementara itu, cerpen “Namaku Samantha Ray” mengungkap tentang “perselingkuhan” terselubung antara Sri Sulanjari (Samantha Ray) dan Irwan, yang berteman sejak SD. Agaknya “perselingkuhan” terselubung itu terdeteksi oleh istri Irwan, baik melalui BB maupun FB. Sebelum berlanjut menjadi hubungan yang kelewat serius, istri Irwan memblokir interaksi kedua insan berlainan jenis itu di media sosial.
“Ombak Pantai Tengah Malam” mengisahkan “egoisme” manusia-manusia “global” yang sibuk dengan urusan karier dan dirinya sendiri. Tuntutan kerja dan karier seringkali memaksa mereka untuk merenggangkan jarak persahabatan. Sebuah gambaran paradoksal manusia metropolis yang senantiasa dicekam kesunyian di tengah atmosfer masyarakat kota yang ingar-bingar. Sedangkan, “The Wine” bertutur tentang gaya hidup masyarakat kota yang akrab dengan dunia malam. Tokoh “aku” yang baru pertama kali merambah dunia malam “dipaksa” harus beradaptasi dengan atmosfer baru yang sarat dengan bau anggur merah dan minuman keras. Yang menjengkelkan, sang lelaki yang membawanya masuk ke dalam perangkap dunia malam, tiba-tiba saja menghilang ketika tokoh “aku” berada dalam keadaan tidak sadar.
***
Muatan nilai cerpen-cerpen Latree Manohara dalam buku ini agaknya sebisa mungkin diupayakan terhindar dari kesan menggurui. Ibarat main karambol, Latree tidak langsung “main tembak”, tetapi menggunakan model “ngeban”. Kena sasaran, tetapi orang lain tak gampang menebak objek yang hendak dituju. Cerpen model “ngeban” seperti ini akan memberikan ruang yang leluasa bagi pembaca untuk melakukan “tafsir ulang” terhadap muatan nilai yang terkandung di dalamnya. Pembaca tidak merasa terdikte dan terbodohi. Latree juga tak terjebak pada narasi-narasi besar dengan mengangkat tema-tema kehidupan yang “lebay”, berlewah, dan bombastis. Cerpen-cerpen Latree cukup “membumi” dengan dedahan kisah yang bersahaja. Suspensi cerita bertumpu pada kesunyian dan kegetiran hidup dengan menampilkan tokoh-tokoh yang serba kalah dan tersisih dalam pergaulan hidup.
Dengan gaya tutur yang lancar dan mengalir, cerpen-cerpen Latree jadi enak dan renyah dibaca. Tuturannya pendek-pendek dengan diksi yang lumayan terjaga, sehingga terhindar dari kesan kenes dan berlebihan. Narasinya mengalir dan menyatu dengan latar cerita dan tokoh yang dihadirkan. Sungguh, membaca cerpen-cerpen Latree tak ubahnya membaca kisah-kisah peradaban yang penuh kearifan dalam “kurikulum kehidupan” yang sesungguhnya. Anomali sosial, aroma mistis, dan dunia kaum marginal yang terekspresikan di dalamnya bisa menjadi kekayaan “literer” buat pembaca dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup yang kian rumit dan kompleks. ***
Link to full article
Không có nhận xét nào:
Đăng nhận xét