Pertanyaan yang tersurat dalam judul tulisan ini selalu saja menarik dan menggelitik untuk diperbincangkan. Lebih-lebih setiap kali kita memasuki Bulan Oktober yang telah ditetapkan sebagai Bulan Bahasa melalui “kebijakan politik” yang visioner. Idealnya, sikap bangga berbahasa Indonesia yang telah teruji oleh sejarah benar-benar menyatu secara emosional dan afektif ke dalam perilaku hidup keseharian setiap warga bangsa. Bangga berbahasa Indonesia tidak lagi sekadar retorika yang dikaitkan dengan momentum Bulan Bahasa, tetapi benar-benar menjadi tradisi dan budaya yang menyatu ke dalam kesejatian diri bangsa sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Sikap bangga terhadap Bahasa Indonesia (BI) perlu terus dihidupkan dan dikembangkan secara dinamis sebagai perekat nilai kerukunan hidup dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sungguh beruntung bangsa kita memiliki bahasa nasional yang telah mampu menyatukan sekitar 1.128 suku bangsa yang tersebar di berbagai penjuru nusantara. Menurut catatan Wikipedia, data dari Departemen Dalam Negeri tahun 2004 menunjukkan jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.504 buah; 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Tak terbayangkan apa yang akan terjadi seandainya ribuan suku yang tersebar di puluhan ribu pulau itu tidak memiliki bahasa persatuan sebagai tali perekat kebersamaan dan persatuan. Kondisi geografis yang terpisahkan oleh laut dan selat semacam itu jelas akan gampang tercerai-berai kalau BI gagal menjalankan fungsinya sebagai media pemersatu bangsa.
Sekali lagi, kita sungguh beruntung memiliki bahasa nasional yang terbukti telah mampu menjalankan fungsinya sebagai sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. Meskipun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Sikap Rendah Diri
Fenomena budaya yang ”mengerdilkan” dan mengebiri BI pun kini ditengarai sudah mulai bermunculan. Banyak orang yang mulai dihinggapi sikap rendah diri secara berlebihan terhadap BI sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar apabila dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan, menggunakan setumpuk istilah asing, meskipun sudah ada padanannya dalam BI. Gejala tutur Indon-english –untuk menyebut tuturan yang mencampuradukkan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris– begitu marak di ruang-ruang publik.
Yang lebih memprihatinkan, berbagai jenis ”pelanggaran”, mulai dari yang menyangkut aspek fonologi, morfologi, sintaksis, hingga wacana, masih sering terjadi. Tidak saja di kalangan masyarakat biasa, tetapi juga mereka yang seharusnya secara sosial menjadi anutan dan secara psikologis tidak perlu melanggarnya. Bahkan, sejak reformasi bergulir, pelanggaran bahasa kian marak terjadi. Para pejabat maupun kaum intelektual makin nihil kepeduliannya terhadap penggunaan BI secara baik dan benar. Tidak jarang kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya, sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak sedikit pula kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa sesuai dengan selera mereka sendiri, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah bahasa, baik dari aspek struktur maupun semantiknya. Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin sikap bangga terhadap bahasa nasional dan upaya penggunaan BI secara baik dan benar akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka.
Jika mau jujur, mungkin kita akan selalu terusik oleh sebuah pertanyaan, berapa persen jumlah penduduk Indonesia yang sudah mengenal dengan baik berbagai kaidah bahasa semacam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, atau Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan yang dijadikan sebagai “payung hukum” terhadap penggunaan BI secara baik dan benar? Agaknya, pertanyaan itu hanya membuat jidat kita berkerut. Meskipun tidak ada angka yang pasti, kenyataan menunjukkan bahwa kaidah-kaidah bahasa semacam itu (nyaris) tidak dikenal oleh masyarakat luas. Bahkan, bisa jadi hanya ”memfosil” di rak-rak perpustakaan sekolah, kampus, atau instansi lain yang nyaris lapuk karena tak pernah tersentuh. Itu artinya, kaidah-kaidah kebahasaan yang disusun dengan susah-payah itu hanya akrab terdengar di ruang-ruang kelas ketika kegiatan pembelajaran di sekolah berlangsung.
Berbahasa sangat erat kaitannya dengan budaya dan kebiasaan masyarakat penutur dalam setiap fase peradaban. Bahasa akan terus berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan peradaban itu sendiri. Melalui bahasa, manusia mampu berkomunikasi dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran kreatif, baik dalam bentuk wacana lisan maupun tulisan, sehingga mampu berkiprah dalam melahirkan ”sejarah” baru yang sesuai dengan semangat zamannya. Dalam situasi demikian, kita sangat membutuhkan keteladanan kaum elite negeri ini dalam berbahasa Indonesia di ruang-ruang publik. Selain itu, upaya pemasyarakatan kaidah Bahasa Indonesia perlu terus digalakkan dan digencarkan agar bisa dijadikan sebagai rujukan utama dalam berbahasa, baik dalam ragam lisan maupun tulisan.
Jangan sampai terjadi, nasib BI akan menjadi “tamu di rumah sendiri” ketika makin banyak orang asing yang justru tertarik dan berbondong-bondong untuk belajar BI, sementara kita sendiri sebagai “pemangku bahasa” utama cenderung cuek dalam menggunakan BI secara baik dan benar, bahkan (nyaris) kehilangan sikap bangga terhadap bahasa nasionalnya sendiri. ***
Link to full article
Không có nhận xét nào:
Đăng nhận xét