Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia setelah RRC (± 1.298.847.624 jiwa), India (± 1.065.070.607 jiwa), dan Amerika Serikat (± 293.027.571 jiwa), Indonesia memiliki kekuatan “dahsyat” untuk menjadi negara besar yang sangat diperhitungkan dalam kancah pergaulan global. Berdasarkan pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857 jiwa yang terdiri atas 132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 perempuan (lihat nasional.kompas.com).
Jumlah penduduk sebesar itu sesungguhnya dioptimalkan sebagai modal sosial untuk menjadikan bangsa ini sebagai sebuah bangsa yang memiliki pengaruh besar dalam ikut membangun peradaban dunia yang bermartabat dan berbudaya. Tak hanya di bidang politik, ekonomi, atau sosial, tetapi juga di bidang kebudayaan. Di ranah kebudayaan, misalnya, bangsa kita mampu meningkatkan peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai internasional. Penduduk Indonesia yang tersebar di berbagai belahan dunia bisa dimanfaatkan sebagai “agen-agen budaya” untuk memperkenalkan dan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai sarana “dialog kebudayaan” lintas-bangsa, sehingga secara bertahap bahasa Indonesia makin dikenal dan dipahami oleh penduduk dunia. Tidak berlebihan apabila banyak kalangan menilai, sudah saatnya bahasa Indonesia benar-benar didorong dan diberikan ruang seluas-luasnya untuk menjadi bahasa internasional.
Wacana untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional semakin menguat setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam pasal 44 disebutkan bahwa: (1) pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan; (2) peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan; (3) ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam konteks demikian, bahasa Indonesia secara faktual tidak hanya digunakan oleh ratusan juta penduduk Indonesia, tetapi dukungan suprastrukturnya juga sudah cukup kuat, sehingga peluang bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa internasioal benar-benar terbuka. Selain itu, bahasa Indonesia juga telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri misalnya, saat ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga yang telah mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing, baik di perguruan tinggi, sekolah, maupun di lembaga-lembaga kursus. Sementara itu di luar negeri, pengajaran Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing (BIPA) juga telah dilakukan di 46 negara yang tersebar di seluruh benua dengan 179 lembaga penyelenggara.
Daya Pikat Bahasa Indonesia
Semakin banyaknya penutur asing yang ingin belajar menggunakan bahasa Indonesia menunjukkan bahwa peran bahasa Indonesia dalam lingkup pergaulan antar-penduduk dunia semakin penting dan diperhitungkan. Hal ini juga sangat erat kaitannya dengan atmosfer budaya dan kepariwisataan di Indonesia yang menjadi salah satu “pusat budaya dan wisata” dunia. Indonesia, di mata dunia, bagaikan magnet yang memiliki daya tarik dan daya pikat wisatawan mancanegara yang ingin mengetahui lebih jauh kekayaan dan aset wisata Indonesia yang tidak pernah mereka saksikan di negerinya masing-masing. Jika dilakukan upaya serius untuk mendorong bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional bukan mustahil “mimpi” semacam itu benar-benar akan terwujud.
Adakah keuntungannya buat bangsa kita seandainya bahasa Indonesia benar-benar menjadi bahasa internasional? Menurut hemat saya, ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh. Pertama, ikatan nilai nasionalisme dan sikap bangga segenap warga bangsa terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kian kokoh dan kuat. Dengan diakuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, akar-akar nasionalisme yang selama ini tenggelam akibat dinamika global yang kian deras menggerus sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan kembali mencuat ke permukaan. Selain itu, sikap bangga setiap warga bangsa terhadap bahasa nasional kian kokoh akibat menguatnya nilai-nilai “primordialisme” bangsa kita di tengah percaturan masyarakat dunia. Rasa cinta terhadap bangsa dan negara makin mengagumkan.
Kedua, secara kultural, peradaban bangsa kita yang dikenal sangat santun, rendah hati, ramah, dan luhur budi, juga semakin mendapatkan pengakuan dunia. Diakui atau tidak, akibat lemahnya dialog budaya dan upaya diplomasi bangsa kita dalam memperkenalkan produk-produk budaya bangsa di tengah kancah pergaulan masyarakat dunia, termasuk bahasa Indonesia, nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi bangsa kita semakin tenggelam, bahkan sama sekali tidak dikenal oleh warga negara asing. Dengan diakuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, potret budaya bangsa yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal akan semakin dikenal secara luas oleh masyarakat internasional.
Ketiga, posisi tawar bangsa kita akan semakin tinggi di mata dunia. Dengan diakuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, “pamor” bangsa kita akan semakin memancar kuat sehingga peluang untuk ikut menjadi “penentu sejarah” dunia juga makin terbuka. Bukankah ini akan membuka peluang bagi bangsa kita untuk ikut-serta mewujudkan perdamaian dunia secara nyata sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945 yang telah dicanangkan oleh para pendiri negara?
Keempat, pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional akan membuat bangsa kita mampu memerankan dirinya sebagai “aktor” peradaban dunia menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Peradaban bangsa kita yang telah lama dikenal sebagai bahasa yang ramah dan beradab bisa menjadi “modal kultural” yang sangat berharga, sehingga bisa ikut berkiprah dalam mewujudkan tata kehidupan dan peradaban dunia yang lebih santun dan berbudaya.
Kelima, mendorong kemajuan bangsa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang selaras dengan derap dan dinamika global. Dengan diakuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, dengan sendirinya bahasa Indonesia akan menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang digunakan di banyak negara. Kondisi semacam ini jelas akan sangat menguntungkan bangsa kita yang selama ini dinilai masih tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tentu masih banyak keuntungan lain yang bisa diperoleh bangsa kita seandainya bahasa Indonesia benar-benar menjadi bahasa internasional. Bangsa kita tidak hanya mampu memancarkan “pamor” yang kuat di tengah kancah pergaulan dunia, tetapi juga mampu menghidupkan dan merevitalisasi nilai-nilai peradaban berbasis kearifan lokal yang selama ini tenggelam akibat makin kuatnya gerusan nilai-nilai global ke dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hambatan Serius
Untuk mewujudkan “mimpi” agar bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, jelas bukan perkara mudah. Ada dua hal mendasar yang bisa menjadi hambatan serius untuk mewujudkan “mimpi” semacam itu. Pertama, secara eksternal, bangsa kita belum mampu memainkan peran strategis dalam melakukan dialog-budaya antarnegara. Diplomasi budaya bangsa kita yang cenderung melemah dan posisi tawar yang rendah, membuat proses transformasi sosial dan budaya kita di manca negara makin silang-sengkarut. Sistem dan pengelolaan pendidikan, kebudayaan, dan diplomasi yang salah urus, diakui atau tidak, telah melahirkan sosok karbitan dan miskin kemampuan sehingga gagal menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan baik. Alih-alih memiliki posisi tawar yang mengagumkan di mata dunia, diplomasi budaya antarnegara serumpun pun gagal dilakukan dengan baik. Lihat saja, kasus Ambalat yang dipicu ketika Malaysia melakukan provokasi atas wilayah perairan Indonesia di utara Kalimantan Timur dengan mengirim kapal-kapal perangnya melewati perairan Indonesia di Blok Ambalat beberapa waktu yang silam atau ketika Malaysia mengklaim lagu “Rasa Sayange”, batik, dan berbagai seni tradisi lainnya, sebagai bagian dari karya-karya mereka? Bangsa kita gagal melakukan diplomasi budaya dengan baik. Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin upaya untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional akan semakin sulit terwujud.
Kedua, secara internal, bangsa kita mulai kehilangan sikap bangga terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Gejala semacam ini jelas terlihat dari maraknya orang Indonesia yang merasa terpelajar, modern, dan presitius ketika menyelipkan setumpuk kosakata asing dalam tuturannya. Para elite bangsa dan figur publik yang seharusnya mampu memerankan dirinya sebagai anutan sosial dalam berbahasa Indonesia dengan baik dan benar pun seringkali bersikap latah dengan ikut-ikutan menggunakan kosakata asing dalam setiap tuturannya. Sikap rendah diri terhadap bahasa nasionalnya sendiri, disadari atau tidak, telah melemahkan gengsi dan harga diri bahasa Indonesia di mata dunia. Bagaimana bisa membuat mata dunia makin tertarik dan menghargai keberadaan bahasa Indonesia dalam percaturan global kalau para “pemangku budaya”-nya bersikap abai dan miskin kepedulian?
Kondisi semacam itu diperparah dengan “kebijakan politik pendidikan” yang salah urus ketika sekolah berlabel RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) atau SBI (Sekolah Berstandar Nasional) bersikap latah “melawan hukum” dengan menjadikan bahasa asing (bahasa Inggris) sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Kebijakan semacam ini tidak hanya mengebiri fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi (negara) yang wajib digunakan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan, tetapi juga makin meruntuhkan semangat generasi masa depan negeri ini untuk mencintai budaya bangsanya sendiri.
“Mimpi” untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional makin jauh panggang dari api ketika bangsa kita gagal meredam perilaku anomali sosial, semacam korupsi, manipulasi, kekerasan, tawuran antarpelajar dan mahasiswa, teror, penipuan, pembohongan publik, dan berbagai perilaku merusak lainnya. Selain meruntuhkan animo wisatawan asing untuk datang berkunjung ke Indonesia, secara tidak langsung, perilaku merusak semacam itu juga telah membunuh sikap ramah, santun, terhormat, bermartabat, dan berbudaya yang selama ini menjadi ikon bangsa kita. Bukankah nilai-nilai keluhuran budi dan kearifan hidup juga akan menjadi penentu bisa tidaknya sebuah bahasa diakui sebagai bahasa internasional?
Mengacu berbagai fakta sosial yang terjadi di negeri ini, langkah untuk memosisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional agaknya makin rumit dan kompleks. Perlu ada upaya serius untuk merevitalisasi dan menghidupkan kembali sikap bangga terhadap bahasa nasional kepada semua anak bangsa. Bulan Bahasa yang jatuh pada setiap bulan Oktober idealnya tidak terjebak pada kegiatan seremonial belaka, tetapi perlu diimbangi dengan upaya serius untuk melakukan sosialisasi berbagai kaidah bahasa Indonesia beserta “payung hukum”-nya kepada masyarakat luas sehingga secara bertahap penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar tidak terjebak menjadi slogan belaka. Selain itu, Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan perlu segera diluncurkan. Yang tidak kalah penting, penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kejahatan di negeri ini perlu dilakukan secara serius untuk “mendongkrak” citra bangsa yang selama ini merosot drastis akibat merajalelanya perilaku merusak yang telah menodai marwah bangsa. ***
Link to full article
Không có nhận xét nào:
Đăng nhận xét