Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia (BI) sudah berusia 84 tahun; rentangan usia yang sudah tak bisa dibilang muda lagi. Sudah banyak dinamika hidup dan pengalaman “pahit” yang dilaluinya. Kini, ketika dunia sudah memasuki pusaran global, tantangan yang mesti dihadapi BI pun makin rumit dan kompleks. BI diharapkan tidak hanya sekadar menjadi simbol dan identitas kebangsaan semata, tetapi lebih jauh daripada itu, BI juga mesti mampu bersikap luwes dan lentur terhadap setiap gerak zaman. Selain itu, BI diharapkan juga mampu memosisikan dirinya sebagai sarana pemerkuat nilai kerukunan hidup di tengah-tengah peradaban yang “sakit” ketika teror dan kekerasan menjadi fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam konteks demikian, kita mesti berterima kasih kepada para pendiri negara yang dengan amar sadar memosisikan BI sebagai bahasa persatuan. Jelas bukan persoalan mudah ketika para pendiri negeri ini mengikrarkan Sumpah Pemuda lebih dari delapan dekade yang silam. Setidaknya, ada dua tantangan mendasar yang mesti dihadapi. Pertama, ancaman dan teror yang tak henti-hentinya dilakukan kaum penjajah. Kedua, suasana multikutur dan multi-etnik sebagai fakta sejarah yang tak terelakkan. Meskipun demikian, sejarah juga telah membuktikan, dua tantangan mendasar itu berhasil dihadapi berkat kesadaran kolektif para pendiri negara yang begitu mengagumkan. Mereka tak hanya sanggup berkelit dari incaran kaum penjajah yang selalu dihinggapi rasa khawatir terhadap menguatnya nilai-nilai nasionalisme di kalangan pribumi, tetapi juga mampu menyatukan berbagai perbedaan, baik suku, bahasa, agama, maupun budaya ke dalam sebuah keindonesiaan yang solid dan kokoh.
Posisi BI makin menguat setelah Indonesia diproklamirkan Soekarno-Hatta sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945, BI diakui keberadaannya sebagai bahasa resmi (bahasa negara). Ini artinya, BI tak hanya sebatas digunakan sebagai bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga difungsikan sebagai bahasa resmi kenegaraan (lisan maupun tulisan) dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam kondisi demikian, idealnya BI mampu memosisikan dirinya sebagai media pembebas terhadap menguatnya nilai-nilai primordialisme sempit dan vandalisme yang belakangan ini ditengarai sudah mulai menggoyang sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, diakui atau tidak, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi, keberadaan BI dinilai mulai kehilangan pamor kewibawaannya. Coba kita lihat berbagai kenyataan yang terjadi di atas panggung sosial negeri ini jika dikaitkan dengan keagungan fungsi dan kedudukan BI yang sudah demikian teruji oleh sejarah.
Sebagai bahasa nasional, BI memiliki fungsi sebagai: (1) lambang kebanggaan nasional; (2) lambang identitas nasional; (3) alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya; (4) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia. Sedangkan, dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi (bahasa negara), BI memiliki fungsi sebagai: (1) bahasa resmi kenegaraan; (2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan; (3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah; dan (4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Persoalannya sekarang, bisakah dikatakan BI menjadi lambang kebanggaan nasional kalau kenyataan yang terjadi justru makin banyak kalangan di negeri ini yang lebih bangga menggunakan setumpuk istilah asing dalam tuturannya, baik dalam ragam lisan maupun tulis? Bisa jugakah dikatakan BI menjadi lambang identitas nasional kalau makin banyak kalangan yang abai untuk menggunakan BI secara baik dan benar sebagai bagian dari jati diri bangsa? Masih jugakah kita meyakini BI sebagai media pemersatu bangsa kalau kenyataan yang terjadi justru menampakkan fenomena makin menguatnya nilai-nilai primordialisme dan chauvinisme sempit hingga acap kali terjadi kekerasan berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antarkelompok)? Persoalan ini makin rumit jika dikaitkan dengan kedudukan BI sebagai bahasa resmi ketika makin banyak lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi benteng pembinaan BI yang kokoh justru makin banyak sekolah berlabel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) maupun Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang dengan amat sadar menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar.
Ragam Bahasa Eufemisme
Yang lebih menyedihkan, bahasa dinilai sudah menjadi bagian dari sebuah entitas kekuasaan yang dengan sengaja dimanfaatkan untuk melakukan politik pencitraan, propaganda, atau tipu muslihat demi melanggengkan kekuasaan. Penggunaan ragam bahasa eufemisme, misalnya, jelas-jelas merupakan sebuah bentuk penghalusan terselubung untuk menutupi tindakan-tindakan kasar, vulgar, dan menindas. Rakyat kecil yang tertindas dan dikorbankan tak jarang dihibur dengan bahasa yang manis dan eufemistik, hingga akhirnya rakyat merasa tidak lagi tertindas, ternistakan, dan dikorbankan. Dalam konteks demikian, bahasa tak hanya sebatas digunakan sebagai media komunikasi dalam ranah sosial, tetapi juga telah dimanfaatkan sebagai alat propaganda dan media politik pencitraan untuk menggapai ambisi dan kepentingan tertentu sesuai dengan selera penggunanya. Kekuatan bahasa eufemistik memungkinkan fakta yang busuk dan sarat bopeng tampak menjadi lebih segar, santun, dan manis.
Bisa jadi, berlarut-larutnya masalah yang tak kunjung terselesaikan hingga memfosil menjadi akumulasi masalah yang multikompleks dan multidimensi di negeri ini merupakan dampak sebuah kebijakan kekuasaan yang abai terhadap perbaikan nasib rakyat. Melalui penggunaaan bahasa manipulatif, rakyat sekadar dihibur lewat jargon dan slogan-slogan eufemistik, hingga akhirnya masyarakat jadi kehilangan kontrol terhadap laju kekuasan yang amburadul dan “semau gue”. Dari sisi ini, agaknya pemakai bahasa kekuasaan telah kehilangan basis moralitasnya. Bahasa bukan lagi menjadi media untuk menyampaikan masalah secara jelas dan nyata, melainkan justru sengaja dikaburkan dan disamarkan hingga menimbulkan banyak tafsir. Semakin banyak tafsir, para elite penguasa semakin mudah mencari celah dalam melakukan pembelaan dan pembenaran terhadap kebijakan kekuasaan yang diluncurkannya.
Kebijakan Politik
Bahasa memang bersifat arbitrer (manasuka) dan memiliki kekuataan personal yang tak mudah diganggu gugat oleh pihak lain. Namun, sesuai dengan hakikatnya sebagai media komunikasi publik, penggunaan bahasa tutur akan membawa dampak sosial yang begitu luas dan kompleks. Itulah sebabnya, kita sangat mengapresiasi kebijakan visioner para pendahulu negeri yang telah menetapkan bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa nasional. Pengakuan dan penetapan bahasa nasional ini jelas memiliki kekuatan yang mampu mengikat para penuturnya secara emosional, sehingga bahasa nasional bisa dimanfaatkan secara optimal di ranah publik berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disepakati.
Dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Indonesia juga telah ditetapkan sebagai bahasa negara (resmi), bahkan telah ditinggikan derajatnya melalui momentum “Bulan Bahasa” yang jatuh setiap bulan Oktober. Melalui kebijakan politik bahasa semacam ini, setidaknya segenap memori anak bangsa tergugah dan teringatkan bahwa ternyata kita memiliki warisan kultural yang telah menyejarah dan benar-benar telah teruji keberadaannya sebagai media pengokoh kebhinekaan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia telah menjadi pengikat nilai persaudaraan dan kerukunan hidup sesama anak bangsa secara emosional dan afektif di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, kebijakan visioner tak selamanya berjalan mulus. Bahasa Indonesia yang seharusnya mampu dioptimalkan sebagai media pembebasan, justru telah terperangkap dalam kubangan hegemoni yang dengan amat leluasa dimodifikasi sebagai alat kekuasaan oleh para elite-nya.
Bahasa Indonesia sesungguhnya bisa menjadi media pembebasan untuk mengantarkan negeri ini sebagai bangsa yang lebih terhormat dan bermartabat. Hal ini bisa terwujud apabila kaum elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa rakyat ketika menyampaikan kebijakan-kebijakan penting dan krusial; bukan menggunakan bahasa kaum elite yang berbelit-belit dan cenderung menyesatkan publik.
Kita sungguh prihatin menyaksikan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus didera berbagai masalah besar. Tak hanya deraan konlfik internal dan eksternal, tetapi juga tikaman bencana yang terus berdatangan secara bergelombang. Dalam situasi krusial seperti ini, sungguh disayangkan, bahasa Indonesia belum bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai media pembebasan dalam ikut menyelesaikan masalah-masalah yang datang menghadang. Bahasa rakyat dan bahasa kaum elite tak pernah berada dalam satu titik temu, hingga persoalan-persoalam besar itu gagal tertuntaskan.
Kini, setelah bahasa Indonesia berusia lebih dari delapan dasawarsa, perlu ada gerakan penyadaran secara kolektif untuk memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi publik yang mencerahkan dan membebaskan. Bahasa tidak dimanfaatkan lagi untuk memburu kepentingan kekuasaan, tetapi lebih dioptimalkan untuk membangun kemaslahatan bersama-sama rakyat, hingga akhirnya persoalan multikompleks dan multidimensi yang mendera negeri ini secara bertahap dan berkelanjutan bisa tertangani.
Selain penyadaran kolektif untuk selalu bangga menggunakan BI sebagai media komunikasi dalam berbagai ranah kehidupan, perlu ada upaya serius untuk mengembalikan fungsi lembaga pendidikan sebagai “jantung” pembinaan BI. Fenonema kehadiran sekolah berlabel RSBI/SBI yang selama ini menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar, perlu dikaji ulang dan wajib hukumnya untuk menggunakan BI sebagai bahasa pengantar utama dalam proses belajar-mengajar, kecuali dalam mata pelajaran bahasa asing atau bahasa daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah sangatlah tidak menguntungkan. Selain makin menjauhkan anak-anak masa depan negeri ini terhadap budaya bangsanya, para pelajar juga mengalami kesulitan ganda dalam menyerap materi ajar. Alih-alih mampu memahami materi ajar secara sempurna, mereka justru mengalami “gegar budaya” ketika dipaksa harus menerjemahkan dan menafsirkan materi ajar dengan menggunakan bahasa asing.
Sudah saatnya BI diposisikan secara terhormat sebagai sebagai sarana pemerkuat nilai kerukunan hidup dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; sebagai bagian jati diri bangsa yang sudah teruji sejarah dari generasi ke generasi. Penggunaan BI secara baik dan benar idealnya tidak hanya digaungkan setiap bulan Oktober yang bertepatan dengan momentum “Bulan Bahasa”, tetapi benar-benar menyatu secara emosional dan afektif dalam hidup keseharian, sehingga setiap warga bangsa merasa senasib dan sepenanggungan dalam memikul beban persoalan yang rumit dan kompleks dengan “bahasa kehidupan” yang sama, yaitu Bahasa Indonesia. ***
Link to full article
Không có nhận xét nào:
Đăng nhận xét