Chủ Nhật, 4 tháng 9, 2011

Mudik, Idul Fitri, dan Halal-Bihalal

Agaknya mudik, Idul Fitri, dan halal-bihalal di negeri ini telah menjadi satu paket. Mudik dan halal bihalal telah menjadi bagian dari budaya yang menyertai setiap momen Idul Fitri. Tak heran jika gema Idul Fitri begitu nyaring terdengar jauh sebelum hari H dan sesudahnya. Idul Fitri agaknya telah dijadikan sebagai momen untuk menggelar aktivitas rutin tahunan oleh bangsa ini untuk mempertautkan nilai-nilai kekeluargaan dan sosial demi kokohnya nilai-nilai kekerabatan dan keguyuban. Dalam konteks demikian, Idul Fitri tidak semata-mata dimaknai sebagai penanda akhir bulan Ramadhan, tetapi juga telah menjadi semacam “konvensi” sosial untuk merajut nilai-nilai kekerabatan, kekeluargaan, dan persaudaraan melalui budaya halal-bihalal.

Meski demikian, kita juga tak bisa menyembunyikan kesedihan ketika peristiwa mudik selalu saja tak luput dari duka dan nestapa. Untuk mudik tahun ini saja, berdasarkan data yang dicatat oleh monitorindonesia.com, selama arus mudik sejak H-7 (23/8/2011), hingga hari kedua Lebaran (31/8/2011), terjadi 2.998 kecelakaan. Dari jumlah tersebut tercatat korban meninggal mencapai 490 orang, korban luka berat 811 orang, dan korban luka ringan sebesar 2.027 orang. Sungguh, ini sebuah peristiwa yang menyesakkan dada ketika jutaan umat muslim “berpesta” menyambut hari kemenangan, saudara-saudara kita yang tengah berjuang menembus padatnya arus lalu lintas permudikan harus menerima nasib tragis. Bukannya kebahagiaan yang didapat, melainkan justru harus berhadapan dengan Malaikat Maut.

Sudah sedemikian parahkah manajemen transportasi di negeri ini sehingga gagal menyediakan infrastruktur transportasi yang nyaman buat para pemudik? Sudah tak adakah keramahan dan kenyamanan jalan raya di negeri ini sehingga maut harus selalu mengintai setiap pemudik yang tengah melintas?

Budaya mudik memang menjadi fenomena tersendiri di negeri ini. Tak diketahui secara pasti, sejak kapan fenomena ini muncul. Bisa jadi, peristiwa ini muncul secara alamiah seiring dengan meningkatnya proses urbanisasi yang menjadikan kota-kota besar sebagai “magnet” yang mampu menyedot jutaan orang kampung untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan. Agar nilai kekeluargaan dan kekerabatan dengan saudara-saudara di kampung kelahiran tidak terputus, para perantau mereka perlu pulang kampung (mudik). Saat yang dianggap tepat untuk itu adalah menjelang Idul Fitri tiba. Mereka yang gagal mudik dianggap oleh sanak-kerabatnya di kampung sebagai sebuah kegagalan mengadu nasib di perantauan. Bahkan, tak jarang yang beranggapan bahwa perantau yang tidak mudik ke kampung kelahiran pada saat Lebaran dianggap sudah memutuskan tali silaturahmi dengan saudara-saudaranya di kampung.

Lebih-lebih buat para perantau yang sudah kehilangan orang tua. Selain bersilaturahmi dengan sanak-keluarga, mereka juga punya misi untuk berziarah ke makam orang tua yang sudah meninggal, sehingga mudik menjadi semacam “kewajiban” yang mesti dilakukan sebagai wujud sikap berbakti pada orang tua dan keluarga.

Seiring dengan itu, pasca-Idul Fitri, budaya lain pun muncul, yakni halal-bihalal. Budaya ini erat kaitannya dengan perintah untuk membangun silaturahmi dan saling memaafkan terhadap sesama, meski kosakata halal-bihalal itu sendiri tidak ditemukan dalam idiom keagamaan. Dari sisi ini, sangat bisa dipahami kalau arus mudik terus mengalir dan menjadi “ritual” tahunan meski harus sangat berisiko di perjalanan. Selain untuk berziarah ke makam orang tua yang sudah meninggal, para pemudik juga berkepentingan untuk berhalal-bihalal dengan saudara-saudaranya di kampung sebagai manifestasi sikap “semanak” (kekeluargaan) dan “sumedulur” (persaudaraan).

Mengingat masih demikian tingginya angka kecelakaan yang terjadi setiap peristiwa mudik berlangsung, pemerintah perlu merespons secara serius terhadap fenonema ini. Jangan sampai terjadi, jalan raya menjadi monster yang menakutkan buat para pemudik. Paket mudik, Idul Fitri, dan halal-bihalal agaknya telah menjadi salah satu “kekayaan” dan “kearifan budaya” yang akan terus berlangsung dari generasi ke generasi. Sungguh naif apabila bangsa yang besar ini gagal menyediakan infrastruktur transportasi yang nyaman buat para pemudik yang punya hasrat besar untuk mengembangkan nilai-nilai kekeluargaan, kekerabatan, dan persaudaraan di tengah meruyaknya nilai egoisme yang mulai menggila. ***


Link to full article

Không có nhận xét nào:

Đăng nhận xét

Bài đăng phổ biến