Thứ Bảy, 20 tháng 8, 2011

Antara Puasa dan Perilaku “Tapa Ngrame”

Tanpa terasa, Ramadhan sudah memasuki hari ke-21. Konon, memasuki sepertiga Ramadhan yang terakhir, tantangan makin berat. Kelelahan fisik dan psikhis makin kompleks. Bisa jadi, ini sebuah dinamika berpuasa yang sengaja didesain oleh Sang Khalik untuk menguji tingkat keimanan hamba-Nya. Bagi para pendamba nilai religiusitas, puasa bisa ditafsirkan sebagai entitas ke-hamba-an yang menyajikan banyak pengalaman spiritual. Dalam konteks demikian, bisa jadi pula secara personal setiap orang akan merasakan pengalaman spiritual yang berbeda-beda.

IblisDalam konteks kultural, ibadah puasa bisa juga dibilang sebagai laku “tapa ngrame”; sebuah perilaku spiritual di tengah keramaian duniawi ketika godaan nafsu yang paling purba sekalipun berupaya mencederai kekhusyukan kita dalam menjalankan laku pertapaan itu. Sebagai sebuah laku spiritual, dengan sendirinya “tapa ngrame” telah melewati batas-batas dimensi ragawi, kemudian “manjing” ke dalam dimensi rohaniah untuk menggapai makna kesejatian hidup. Ini artinya, perilaku seseorang yang sedang “tapa ngrame” hanya berpamrih untuk menghadirkan “Zat Yang Serba-Maha” ke dalam hidup keseharian. Ia abai terhadap gelimang nafsu; kekuasaan, keserakahan, keangkuhan, kedengkian, dendam, kemurkaan, dan berbagai penyakit hati yang lain.

Esensi puasa sejatinya tak hanya berjuang untuk menaklukkan godaan yang bersifat fisik dengan menahan deraan rasa haus dan lapar, tetapi juga berupaya memerangi godaan nafsu yang bersifat psikis untuk membersihkan noda yang mengerak di dalam nurani. Konon, inilah salah satu perjuangan terberat laku puasa dalam upaya membangun karakter dan integritas kepribadian akhlakul karimah. Sungguh beruntung buat mereka yang sanggup menjalankan setumpuk aktivitas keseharian di tengah deraan rasa haus dan lapar tanpa tergoda untuk membatalkan puasanya hanya demi memanjakan perut dan lidah. Dan jauh akan lebih beruntung ketika seseorang telah sanggup mengatasi godaan nafsu untuk memanjakan sikap serakah, bohong, korup, angkuh, atau dengki di tengah situasi serba-ambigu yang seringkali memaksa orang untuk “berpakta dengan Iblis”.

Jika laku puasa dan “tapa ngrame” ini disinergikan, maka momentum Ramadhan seharusnya bisa dijadikan sebagai saat yang tepat untuk memerangi berbagai perilaku jahat yang bersimaharajalela di negeri ini. Dengan kata lain, aparat penegak hukum seharusnya lebih gigih dalam melipatgandakan aktivitasnya untuk menangkap para bromocorah yang selama ini sudah membuat hidup banyak orang berkubang dalam kesusahan. Kasus korupsi, misalnya, jelas-jelas telah membuat deretan orang miskin di negeri ini makin bertambah panjang lantaran hak-haknya untuk bisa hidup layak telah dikemplang oleh para koruptor. Namun, mengapa KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan terkesan lamban dalam bertindak menciduk para koruptor? Bukankah memerangi korupsi termasuk “jihad” yang harus dikibarkan tinggi-tinggi?

Tapi sudahlah! Saya tak ingin larut “ngrasani” KPK, Kepolisian, atau Kejaksaan yang telah membuat banyak pendamba keadilan mengernyitkan jidat. Kita hanya berharap, semangat berpuasa dan “tapa ngrame” bisa terus hadir setiap saat, meski suatu ketika nanti kita harus berpisah dengan Ramadhan yang suci dan syahdu. ***


Link to full article

Không có nhận xét nào:

Đăng nhận xét

Bài đăng phổ biến