Mendiknas melalui Permendiknas Nomor 46 Tahun 2007, Permendiknas Nomor 12 Tahun 2008, Permendiknas Nomor 34 Tahun 2008, dan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2008, telah menetapkan sejumlah Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai layak dan telah ditetapkan sebagai Buku Teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam pembelajaran. Konon, jumlah BSE berdasarkan update terakhir (per Desember 2010), jumlahnya telah mencapai 800-an judul. Luar biasa!
Meski demikian, kebijakan BSE yang memiliki jargon “buku sekolah murah untuk rakyat” ini tak urung menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Efektifkah keberadaan BSE jika dikaitkan dengan realitas masyarakat persekolahan kita yang sebagian besar masih “gagap internet”?
Jika mau jujur, kebijakan BSE untuk saat ini, bahkan mungkin juga dalam beberapa tahun mendatang, bukanlah momen yang tepat. Masih belum meratanya jaringan infrastruktur internet di berbagai sekolah di wilayah Indonesia jelas menjadi kendala utama. Alih-alih membaca secara online dan/atau men-download BSE, sekadar membuka internet saja, masih banyak sekolah yang belum mampu melakukannya lantaran kendala jaringan. Ini artinya, BSE hanya bisa digunakan dan dinikmati oleh sekolah-sekolah tertentu, khususnya di daerah perkotaan, yang memiliki jaringan internet memadai. Itu pun belum tentu dijamin lancar karena besar dan beratnya beban server yang lemot dan menumpuk.
Selain kendala utama tentang masih minimnya jaringan infrastruktur internet, BSE juga menimbulkan imbas samping yang cukup meluas. Pertama, banyak sekolah yang kesulitan menemukan buku-buku teks bermutu. Visi BSE untuk menyediakan buku-buku murah dengan memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk men-download dan mencetak, untuk kemudian menjualnya secara bebas sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sudah dipatok, memang layak diapresiasi. Namun, siapa orangnya yang mau mencetak buku-buku teks dengan harga yang mustahil mampu mendatangkan keuntungan? Siapa pula yang bisa menjamin, penerbit yang selama ini sudah mem-fokuskan diri untuk menerbitkan buku-buku teks, mau menerbitkan BSE yang sama sekali tidak menjanjikan keuntungan finansial?
Kenyataan pahit itu makin terbukti setelah 3-4 tahun kebijakan BSE berjalan, buku-buku teks bermutu yang cocok dengan kebutuhan siswa makin sulit dan langka ditemukan. BSE hanya menumpuk dan “menyampah” di server BSE, bahkan nyaris tak tersentuh publik lantaran sulitnya diakses dan diunduh. Yang terjadi kemudian, banyak penerbit buku teks yang gulung tikar dan beralih usaha ke penerbitan non-buku teks sambil meraba-raba pasar yang belum jelas segmentasinya. Kalau toh masih ada penerbit yang eksis menerbitkan buku-buku teks, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Yang diterbitkan pun umumnya bukan lagi BSE. Mereka berani melakukan terobosan di bidang penerbitan demi ikut-serta membangkitkan dan menghidupkan budaya literasi di kalangan peserta didik yang selama ini telah dibelenggu oleh kebijakan BSE yang dinilai kurang membumi.
Kedua, memasung kreativitas guru atau penulis buku teks. Disadari atau tidak, pasca-BSE, banyak guru atau penulis buku teks yang selama ini telah berjasa besar dalam mengakrabkan siswa pada buku-buku teks bermutu mulai surut animo dan kreativitasnya untuk menulis lantaran tak ada lagi penerbit yang mau menampung karya-karyanya. Surutnya kreativitas guru dalam menulis buku teks, jelas akan memberikan imbas yang sangat besar terhadap ketersediaan buku-buku teks yang bermutu dan mencerahkan dunia keilmuan. Peserta didik hanya “dicekoki” buku-buku teks “sampah” lantaran sudah kedaluwarsa dan tidak lagi sesuai dengan konteks dan dinamika keilmuan yang terus berkembang.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil generasi masa depan negeri ini tak akan pernah mendapatkan asupan nutrisi dan gizi batin yang cukup lantaran telah terpasung oleh BSE yang “nyampah” di internet. Dalam konteks demikian, sebelum kondisi yang lebih parah terjadi, perlu ada kebijakan untuk mengkaji ulang kebijakan BSE yang dinilai tidak banyak memberikan nilai tambah buat kemajuan dunia pendidikan. Naskah-naskah buku teks yang sudah telanjur di-BSE-kan, silakan dipakai buat mereka yang bisa mengaksesnya, tetapi untuk tahun-tahun mendatang, kebijakan semacam ini perlu segera dihentikan.
Pemerintah (cq. Kemdiknas) sebagai pemegang kendali kebijakan, perlu bersikap visioner untuk mengakrabkan peserta didik di tingkat dasar hingga menengah pada buku-buku teks yang bermutu dan mencerahkan. Kalau berkehendak menyediakan buku murah, lakukan droping buku-buku teks versi cetakan secara merata ke sekolah-sekolah di seluruh penjuru tanah air. Tentu saja, buku-buku teks yang di-droping ke sekolah-sekolah perlu dilakukan secara selektif melalui penilaian lintas-sektor dengan melibatkan unsur pendidik, psikolog, grafika, akademisi, dan unsur-unsur lain yang relevan agar buku teks yang di-droping benar-benar terjaga kualitasnya. Lakukan pemantauan secara serius, bertahap, dan berkelanjutan! Jika buku-buku teks yang di-droping dinilai sudah ketinggalan zaman, lakukan pergantian secara terprogram dan sistemik, sehingga alur perbukuan di sekolah bisa terkontrol secara jelas dan terkendali.
Jika atmosfer semacam ini kembali dibuka, bukan tidak mungkin gairah para guru untuk menulis buku teks kembali bangkit, dan memberikan peluang kepada para penerbit untuk bersaing secara sehat dengan menyediakan buku-buku yang sehat dan bermutu. Jangan sampai terjadi, “investasi” masa depan negeri ini untuk melahirkan gerenasi yang cerdas dan memiliki budaya literasi tinggi melalui penyediaan buku teks yang bermutu dan mencerahkan jadi terpasung oleh kebijakan BSE yang dianggap kurang membumi. Nah, bagaimana? ***
Link to full article
Không có nhận xét nào:
Đăng nhận xét