Thứ Hai, 22 tháng 8, 2011

Mudik, Kekerabatan Sosial, dan Citra Diri

Mudik telah menjadi semacam “ritual”. Lebaran (nyaris) kurang meriah jika “ritual” mudik hilang dari ruang-ruang sosial di negeri ini. Kampung halaman pun berubah seperti magnet yang mampu menyedot banyak orang untuk mengunjunginya. Sanak kerabat dan handai taulan tiba-tiba saja menjadi sosok-sosok yang amat dirindukan. Oleh karena itu, mudik juga harus membawa kisah-kisah gembira dan bahagia sebagai bagian dari citra diri. Sungguh tidak elok, bahkan mungkin sebagian orang mengatakan konyol kalau mudik hanya menyodorkan kisah tragis, memalukan, sekaligus memilukan. Apa kata sanak kerabat dan handai taulan di kampung kalau mudik hanya membawa kisah-kisah sial yang jauh dari peruntungan.

Dan seperti umumnya sanak-kerabat dan handai taulan di kampung kebanyakan, mereka pintar sekali menerapkan “ilmu perbandingan sosial” dalam menilai citra diri seseorang. Si polan saja mudik bawa mobil mewah, loh, kok Sampeyan malah berdesak-desakan numpang kereta kelas ekonomi yang berbau apek? Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang seringkali terlontar; lugu dan polos; ketika “ritual” mudik menghembus hingga ke kampung-kampung.

Dalam kondisi seperti itu, mereka yang selama ini jauh mengadu peruntungan di “jaban rangkah”, mudik harus menjadi sebuah pertemuan sosial yang menyenangkan. Mereka harus siap bertutur dengan kisah-kisah manis ketika bertemu dengan sanak-kerabat dan handai taulan. Mereka yang suka “sensi” dan bergengsi tinggi, seringkali tak perlu repot-repot mudik jika tak sanggup beraktualisasi diri dengan sejumlah kesuksesan “materi”. Mereka rela menanggalkan tali kekerabatan sosial manakala mudik tanpa membawa kesuksesan. Lebih baik tidak mudik ketimbang harus menjadi bulan-bulanan cerita pilu sebagai orang yang gagal meraih sukses.

mudikSetidaknya kesan imajiner seperti itulah yang melintas di kepala saya setiap kali merasakan geliat mudik tahunan menjelang lebaran. Kekerabatan sosial yang dibangun dalam “ritual” mudik tak cukup dimaknai sebagai media silaturahmi atawa “ngumpulke balung pisah”, tetapi juga menjadi ajang untuk saling membangun citra diri. Yang paling gampang dijadikan ukuran, tentu saja bekal mudik yang diusung ke kampung. Sebisa mungkin bekal mudik harus memberikan kesan “wah” sebagai penanda sukses bahwa seseorang telah hidup “mapan” di perantauan. Makanya, tak sedikit muncul kisah pilu, ketika hendak pulang ke kota, mereka kelabakan cari utangan karena bekalnya habis dibagi-bagi buat sanak-kerabat di kampung sebagai “tumbal” buat citra dirinya. Lebih baik menanggung hutang ketimbang tak bisa membagi-bagi sebagian kisah sukses semu kepada sanak-kerabat dan handai taulan.

Namun, bisa jadi kesan imajiner semacam itu hanya benar-benar terjadi di negeri antah-berantah. Di Indonesia, mudik memang selalu terjadi dan sudah menjadi bagian dari dinamika kultural bangsa kita. Akan tetapi, saya tak tahu pasti, apakah memang ada fragmen mudik yang menyajikan kisah tragis dan pilu semacam itu. ***


Link to full article

Không có nhận xét nào:

Đăng nhận xét

Bài đăng phổ biến