Setiap kali menginjak bumi, saya teringat Gandhi. Tokoh perdamaian itu pernah mengatakan, “Bumi mampu memenuhi kebutuhan semua manusia, namun tidak akan cukup untuk melayani keinginan segelintir manusia yang serakah.”
Mahatma Gandhi mungkin sedang cemas waktu itu karena melihat manusia-manusia serakah di sekitarnya yang terus mencederai bumi. Barangkali Gandhi juga tengah gundah menatap paradoks kehidupan yang membentang di depannya. Mesin produksi terus berputar, tapi rakyat justru kian miskin, dan tanah pertanian menyempit. Tanaman pangan tercabik-cabik.
Dari situ, kita tahu Gandhi bukan saja tokoh penganjur perdamaian, tapi juga pengamat lingkungan yang baik. Ia menganggap bahwa musuh terbesar bumi bukan planet lain tapi justru para penghuninya sendiri.
Tapi Gandhi tak sendiri. Hollywood menuangkan kecemasannya lewat film The Lion King. Di film animasi tersebut ada adegan ketika Mufasa sang raja hutan mengajarkan Simba, anaknya, kebijakan keseimbangan alam.
“Sebagai raja, kamu harus bisa menjaga keseimbangan alam. Mulai dari semut yang merayap sampai antelop, kamu harus jaga keseimbangan hidupnya,” kata Mufasa.
“Tapi ayah, bukankah kita memakan antelop?”
“Benar Simba. Biarlah ayah menjelaskan kepadamu. Kita, kaum singa memakan antelop. Dan jika kita mati, kita akan menjadi rumput untuk dimakan antelop. Itu merupakan siklus kehidupan yang luar biasa.”
Kuncinya aadalah keseimbangan. Tapi keserakahan, juga ketamakan manusia, justru mengubahnya jadi tak seimbang.
Kita bisa melihat dengan telanjang bagaimana ketamakan itu hadir setiap hari atas nama ekonomi. Globalisasi. Liberalisasi pasar. Manusia rela berperang dan menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa manusia lainnya demi minyak bumi.
Pangan dan energi adalah masalah terbesar kita di masa depan. Ketika populasi penduduk meroket, sementara lahan produsen makan kiat menyempit, maka rawan pangan adalah konsekuensi yang membayang.
Ketika roda-roda industri berlari kian kencang, maka energi adalah pekerjaaan rumah yang harus dipikirkan sejak kemarin.
Hampir satu miliar umat manusia di dunia setiap harinya hidup dalam kondisi kekurangan pangan bahkan kelaparan, terutama yang tinggal di negara-negara berkembang serta yang mengalami konflik dan peperangan yang berkepanjangan,” kata Wakil Presiden Boediono pada sebuah kesempatan.
Penyebab dari kekurangan dan kerawanan pangan yang pertama adalah masalah politik dan keamanan yang tidak memungkinkan penduduk bekerja dan memenuhi pangan.
Ketua Dewan Eksekutif Indonesian Council on World Affairs (ICWA), Ibrahim Yusuf, pernah menyebutkan bahwa kebutuhan energi global dalam kurun waktu 2006-2030 diperkirakan akan meningkat 47 persen menjadi 17,7 miliar ton setara minyak, dengan kawasan Asia Pasifik mencatat sekitar 50 persen dari total kebutuhan energi global pada tahun 2030.
Namun, produksi minyak bumi Indonesia justru anjlok terus. Pada 1999, misalnya produksi per hari mencapai 1,5 juta barel. Sedangkan produksi saat ini diperkirakan kurang dari 900 ribu barel per hari.
Untuk memenuhi permintaan minyak bumi, energi nuklir, atau dari sumber energi baru terbarukan, maka perlu pembangunan infrastruktur energi. Jika negara-negara di kawasan itu mengubah kebijakan mereka untuk beralih ke energi baru terbarukan, maka permintaan diharapkan bisa ditekan, kata Ibrahim.
Apa sih pentingnya energi bagi kehidupan? Bagaimana ketersediaan energi di masa sekarang dan masa depan? Sudahkah kita menyiapkan energi alternatif sebagai pengganti energi yang ada saat ini? Bagaimana pula khalayak terlibat dalam upaya menghemat energi?
Pertanyaan di atas mendorong PT Pertamina menggelar lomba penulisan blog bertema “Sobat Bumi.”
Informasi tentang lomba tersebut ada di halaman Facebook Sobat Bumi.
Melalui lomba ini, PT Pertamina (Persero) ingin mengajak khalayak makin peduli bumi dan masa depan energi … seperti Gandhi.
>> Selamat hari Ahad, Ki Sanak. Apakah sampean tertarik ikut lomba ini?
Filed under: Woro-woro Tagged: advertorial, Blog, energi, lingkungan, lomba, pertamina, sobat bumi, terbarukan
Link to full article
Không có nhận xét nào:
Đăng nhận xét